Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
Kurun
waktu berdiamnya orang-orang Melayu di wilayah pesisir bagian timur
Sumatera sulit untuk dipastikan. Kita hanya mendengar bahwa pada masa
lalu seorang raja dari India Selatan yang bernama Rajendra Cola Dewa I
pada tahun 1011 M menyerang Sriwijaya dan negeri-negeri lainnya di
Semenanjung Tanah Melayu dan di Sumatera. Penyerangan tokoh “Raja Sunan”
ini diungkapkan dalam Sejarah Melayu (cerita ke-1). Kerajaan-kerajaan
Melayu yang termasuk tua adalah sebagai berikut.
a. Panai
Dalam
suatu inskripsi di Tanjore terdapat daftar nama-nama negeri yang
ditaklukkan oleh “Raja Sunan”, di antaranya adalah Kerajaan Panai (with
water in its bathing ghats, ‘lapang yang cukup diairi sungai-sungai‘).
Pusat Kerajaan Panai purba terletak di antara aliran Sungai Barumun dan
Sungai Panai. Di wilayah tersebut terdapat peninggalan candi Hindu
aliran Tantrik Bhainawa. Candi dibangun pada masa setelah penyerangan
Cola (1025 M) sampai dengan masa pendudukan Majapahit (1365 M), yang
kemudian merebut Panai (lihat Negarakertagama). Meskipun biara-biara itu
tidak meninggalkan nama raja-raja dan peristiwa sejarah, tetapi
inskripsi yang ditemukan memakai tulisan Melayu kuno, seperti yang
terdapat di dinding Candi Sitopayan, yang bertulisan “berbuat biyna” dan
inskripsi Gunung Tua (1024 M) yang bertulisan “Juru Pandai
suryyaberbwat bhatara lokanata”. Inskripsi ini menunjukkan bahwa
penguasa yang memerintahkan pembuatan candi adalah orang Melayu,
sebagaimana dikatakan oleh Dr. Schnitger dalam bukunya The Forgotten
Kingdoms in Sumatera.
b. Haru
Kerajaan Melayu tua lainnya
adalah Kerajaan Haru atau Aru. Menurut kisah dalam Hikayat Raja-raja
Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh
Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad. Keduanya merupakan rombongan dari
Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudra
Pasai, pada pertengahan abad ke-13. Marco Polo sempat bertemu
Malikulsaleh yang terkenal dengan nama Merah Silu pada tahun 1292 M.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Haru setidak-tidaknya sudah Islam
sejak akhir abad ke-13 M (Sinar, 1981b: 29–31).
Kerajaan Haru
meliputi wilayah pesisir Sumatera Timur, yaitu dari batas Temiang sampai
Sungai Rokan. Kerajaan ini sudah beberapa kali mengirim misi ke
Tiongkok. Yang pertama di tahun 1282 M, pada zaman pemerintahan Kubilai
Khan (Sinar, 1976). Hasil-hasil penggalian di kota Cina (Labuhan Deli)
juga membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang
potensial untuk berdagang dengan Cina (Krisnon dan Sinar, 1974).
Kerajaan Haru juga pernah ditaklukkan oleh Kertanegara dalam ekspedisi
Pamalayu (1292). Dalam Pararaton ditulis “Haru yang bermusuhan”. Akan
tetapi setelah itu Haru pulih kembali dan menjadi makmur, sebagaimana
dicatat oleh orang Persia, Fadiunllan bin Abdul Kadir Rashiduddin dalam
bukunya Jamiul Tawarikh pada tahun 1310 M. Haru kemudian ditaklukkan
Majapahit (1365), seperti tertera dalam syair Negarakertagama seloka 13:
1. Selain itu, Haru (Harw) juga ditaklukkan Panai (Pane) dan Kompai
(Kampe) di Teluk Haru. Dalam laporan Tiongkok abad ke-5 juga disebutkan
bahwa Haru (kerajaan Islam) berkali-kali mengirim misi ke Cina (Ma Huan,
1451: 7919). Laporan-laporan Cina dan laporan-laporan Portugis
menunjukkan bahwa pusat Kerajaan Haru berada di sekitar Sungai Deli. Di
sana terdapat bendera Cina dan Medina (Medan), sebagaimana yang disebut
oleh Laksamana Turki Ali dalam Al Muhit (Ferrand, 1914: 42).
Pada
abad ke-15 Haru sudah menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin
menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru
menduduki Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, seperti disebut
dalam Sejarah Melayu. Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran
Kerajaan Haru setaraf dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing
menyebut dirinya “adinda”. Semua surat dari Haru yang datang ke Melaka
harus disambut dengan upacara kebesaran negara. Kebesaran Haru juga
diakui oleh Portugis (Ferrand, 1914: 484–541). Portugis berusaha
menjalin persahabatan dengan Haru agar terjadi pertentangan dengan Pasai
dan Melayu Melaka. Akan tetapi ketika bekas Sultan Melaka (Sultan
Mahmudsyah I) diserang oleh Portugis di pengungsiannya di Bintan, Sultan
Haru bersama Sultan Husin datang membantu Melaka. Oleh karena itu,
Sultan Haru dinikahkan dengan putri sultan yang bernama Raja pada tahun
1520 M. Ribuan orang dari Johor dan Bintan berangkat mengiringi tuan
putri kesayangan Sultan Mahmudsyah itu pindah ke Haru. Hal ini
memperkuat proses Melayunisasi di Haru (Mills, 1925: 31–39). Kedatangan
ratusan abdi Kraton Melayu dari Bintan mempercepat proses Melayunisasi
di Haru. Hubungan mesra antara Haru dengan Imperium Melayu di Riau-Johor
membawa malapetaka bagi kedua kerajaan, karena Imperium Aceh yang
muncul kemudian merasa tersinggung.
Dalam Sejarah Melayu (cerita
ke-24) disebutkan bahwa pada periode 1477-1488 M. Haru dipimpin oleh
Maharaja diraja, Putra Sultak Sujak, “yang turun daripada Batak Hilir di
kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir”, atau mungkin saja kata “Batak”
sengaja dihilangkan untuk menghindarkan anggapan penghinaan karena nama
“Batak” menunjuk pada daerah pedalaman yang pada masa itu masih
terbelakang dan belum Islam. Dengan kalimat itu dimaksudkan supaya
daerah yang terletak di pesisir menjadi Melayu (masuk Melayu; masuk
Islam). Adapun di antara nama pembesar-pembesar Haru yang disebut
Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat,
merupakan nama yang mirip dengan nama-nama Karo. Di Hulu Deli ada daerah
bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung
Melayu di Deli yang berasal dari Karo.
c. Siak
Nama Siak sudah
tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah yang ditaklukkan
Majapahit pada tahun 1365 M. Pada mulanya Raja Siak mengaku sebagai
keturunan Nila Pahlawan, saudara Nila Utama, yaitu makhluk yang turun di
Bukit Siguntang Mahameru. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyursyah
Akbar (1458–1477 M) di Melaka, kerajaan Siak diperintah seorang raja
yang masih beragama Hindu bernama Maharaja Permaisura. Siak ditaklukkan
oleh ekspedisi militer Melaka yang dikepalai oleh Khoja Baba yang
berasal dari India dan bergelar Ichtiar Muluk.
Putra Maharaja
Permaisura yang bernama Megat Kudu diislamkan dan dinikahkan dengan Raja
Dewi, putri Raja Melaka, kemudian dinobatkan/ditabalkan sebagai Sultan
Siak bergelar Sultan Ibrahim. Dari pernikahan ini lahir putranya yang
bernama Abdullah dan bergelar Sultan Khoja Ahmadsyah. Sultan Ahmadsyah
menggantikan ayahnya sebagai Raja Siak. Raja Abdullah berputra tiga
orang, yaitu Raja Jamal, Biyazid, dan Raja Isap. Jamal dan Biyazid
tinggal di Bintan. Biyazid kemudian bergelar Gocah Pahlawan, yang
merupakan gelar Laksamana Khoja Bintan. Raja Isap kemudian bergelar
Marhom Kasab dan menikah dengan Putri Fatimah, anak Sultan Mansursyah
atau cucu Raja Sulong bin Raja Mahmud (Ahmad), yang merupakan cikal
bakal dinasti Sultan Perak yang awalnya diangkat oleh Aceh.
Pada
saat Melaka diperintah Sultan Alauddin Riayatsyah I, Raja Siak ingin
melepaskan diri dari Melaka dengan cara menghukum mati seorang terpidana
tanpa meminta izin Melaka. Mendengar kejadian ini Sultan Melaka
mengirim Laksamana Hang Tuah yang kemudian menuding Bendahara Siak Tun
Jana Pakibul di depan majelis sambil berkata, “Tuanku, nampak-nampaknya
di sekeliling Tuanku, orang-orang tua yang tidak tahu adat, tidak ingat
semua hukuman bunuh harus minta izin Melaka dahulu”. Raja Siak lalu
meminta maaf.
d. Rokan
Rokan merupakan kerajaan Melayu tua
yang terletak di Sumatera Timur. Dalam Sejarah Melayu disebutkan bahwa
putra dan pengganti Sultan Maharaja Muhammadsyah Melaka bernama Raja
Ibrahim yang sejak kecil dipengaruhi oleh nenek dari pihak ibu, yaitu
Raja Rokan, sehingga ketika menjadi raja bergelar Sultan Sri Parameswara
Dewa Syah (1445–1450 M). Ketika ia masih kecil pemerintahan dipangku
oleh neneknya, Raja Rokan, yang konon bertindak sesuka hatinya sehingga
dibenci Melaka. Saudara sultan bernama Raja Kasim. Dengan restu
Bendahara, dia merebut tahta dan membunuh Sri Parameswara Dewa Syah dan
neneknya. Setelah itu Bendahara memproklamasikan dirinya menjadi Raja
Melaka dan bergelar Sultan Muzafansyah (1450–1458 M).
e. Kampar
Negeri
lain di Sumatera Timur yang termasuk tua adalah Kampar. Kampar
ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus menerima
instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena
merupakan jalur lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau.
Dalam Sejarah Melayu diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka,
yaitu Sultan Munawarsyah, telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun
1505 M. Dia kemudian mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar
Sultan Abdullah. Kampar yang dimaksudkan adalah Pelalawan yang
kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada mulanya yang menjadi raja
adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut legenda rakyat, negeri
itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).
Sultan Abdullah
Kampar kemudian menjadi menantu Sultan Mahmudsyah Melaka. Walaupun
menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang dan menguasai Melaka
pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis, Sultan
Abdullah malah berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya
sebagai Bendahara orang-orang asing di Melaka.
Sultan Mahmudsyah
yang saat itu bersemayam di Bintan mengirim armada yang dikepalai
menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar diselamatkan oleh
armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung
mengungsikan Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan
kabar angin ke Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan
pemberontakan terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis
curiga dan termakan kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan
dihukum gantung di Malaka. Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan
Portugis dan merupakan tamsil bagi Gubernur Jenderal Belanda, Pieter
Both seperti termuat dalam suratnya kepada Sultan Tidore tahun 1612
(Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah dikejar-kejar Portugis dari Bintan,
sehingga ia harus bertahan di Kampar (Pelalawan) sampai mangkatnya pada
tahun 1528 M (Marhum Kampar).